Empati dalam Bertetangga, Jangan Terkejut Membaca Kisah Nyata Ini!
Saya akan menceritakan kisah nyata yang cukup mengiris hati tapi ternyata sering terjadi di banyak tempat. Dengan tulisan panjang ini, diharapkan masing-masing kita bisa lebih peka melihat kondisi tetangga dan lebih mengasah empati lagi.
Jika selama ini kita merasa sudah
baik dan empati terhadap tetangga, coba teliti lagi. Mungkin masih ada hal-hal yang luput
dari perhatian. Tingkat sensitivitas setiap orang berbeda-beda, demikian juga
dengan rasa empati dalam dada.
Pict: Pexels |
Kata Netizen Tentang Tinggal di Kota dan di Desa
"Tinggal di kota harus tebal
dompet, tinggal di desa harus tebal kuping," begitu kata netizen.
Maksudnya adalah kota identik dengan
biaya hidup yang tinggi karena harga barang-barang sangat mahal. Selain itu,
gaya hidup di kota juga identik dengan hedonisme dan berlomba-lomba pamer
kekayaan. Maka tidak heran jika disebut tinggal di kota harus tebal dompet atau
banyak uang.
Sebaliknya, hidup di desa identik
dengan biaya hidup yang murah sehingga tidak perlu dompet yang tebal. Lalu
mengapa harus tebal kuping, apa maksudnya? Tebal kuping merupakan istilah untuk
kemampuan cuek atau tidak menghiraukan omongan orang. Ya, desa identik dengan
orang-orang yang kepo dan terbiasa ikut campur urusan orang lain. Bahkan untuk
masalah-masalah pribadi.
Apakah kata netizen tersebut benar?
Tentu saja semua itu tergantung orang-orangnya. Jika ingin mengetahui lebih
jelas, bisa coba buktikan sendiri. Kalau gak punya waktu, yaudah nanti saya
bahas lebih lengkap di artikel selanjutnya, hehe.
Kehidupan di desa terkenal dengan
budaya gotong-royong dan saling tolong-menolong. Hal inilah yang membuat ikatan
pertetanggaan lebih erat. Masyarakat desa dikenal lebih peduli satu sama lain,
walaupun kadang rasa peduli ini kebablasan. Ups!
Kisah Nyata Kehidupan Bertetangga
Pada suatu hari (jreng jreng) di sebuah kota kecil (sebut
saja desa deh ya) hiduplah beberapa keluarga dalam suatu wilayah. Rumah-rumah
keluarga ini menghadap satu jalan yang ujungnya buntu karena mentok aliran
sungai. Jarang ada orang luar lewat jalan itu kecuali bapak-bapak sekitar yang
memancing ikan di sungai.
Rumah-rumah tersebut terlihat
sangat layak huni sehingga orang pasti berpikir penghuninya adalah golongan
berdompet tebal. Padahal, tidak semua yang tinggal di situ merupakan pemilik
rumah, ada yang hanya kontrak, numpang di rumah orang, dan lain-lain.
Kemudian, salah satu warga sebut
saja Bapak A yang tergolong berduit berinisiatif membangun portal jalan demi
alasan keamanan. Misalnya biaya pembangunan portal 3 juta (hanya contoh), Bapak
A yang dermawan bersedia menyumbang 1 juta rupiah. Selanjutnya, tidak mau kalah
ada Bapak B yang bersedia menyumbang 1 juta rupiah juga. Sisa biaya 1 juta
rupiah akan dibebankan kepada warga lain yang tinggal di jalan tersebut,
sekitar 15 keluarga.
Jika kita hitung, 1 juta dibagi 15
keluarga maka setiap orang diwajibkan menyumbang Rp66.666. Namun, Bapak A
meminta setiap orang membayar 100 ribu sehingga ada sisa untuk uang kas yang
bisa digunakan jika ada keperluan lain.
Terlihat wajar, bukan? Banyak
terjadi kejadian seperti ini dimana-mana, bukan? Bapak A tentu terlihat sangat
dermawan sekali karena telah memiliki insiatif membangun portal dan bersedia
membayar sebagian besar biayanya. Tapi, mari kita lihat dari sudut pandang
lain, ya.
Bapak A tiba-tiba sudah membeli
bahan material untuk membuat portal, makanya beliau langsung tahu total biaya
sebesar 3 juta. Padahal mereka memiliki grup obrolan di Whatsapp, yang
seharusnya urusan membangun portal perlu dibicarakan atau dirapatkan terlebih
dahulu. Sedangkan yang terjadi adalah tidak ada pembicaraan di grup tentang
rencana pembuatan portal sama sekali.
Bapak A hanya mencetuskan rencana
tersebut secara lisan kepada Bapak B. Lalu mereka berdua menganggap warga
lainnya tentu akan setuju. Mereka menganggap warga lainnya pasti merasa senang
karena hanya dengan urunan 100 ribu sudah ada fasilitas portal di jalan
perumahan mereka.
Baca juga : 30 Detik yang Mengubah Hidup
Kenyataannya tidak demikian. Sebut
saja ada Ibu Z yang merupakan salah satu warga di sana. Ibu Z yang memiliki
bisnis kecil-kecilan sedang kesulitan ekonomi di masa pandemi. Rumah yang
ditinggali Ibu Z merupakan rumah orang lain yang mengizinkannya menempati sementara
waktu.
Bagi Ibu Z, untuk memenuhi
kebutuhan makan sehari-hari saja sangat sulit, sehingga uang 100 ribu sangat
berharga. Selain itu, pembuatan portal merupakan hal yang tidak berguna bagi
Ibu Z. Menurut Ibu Z, jalan tersebut merupakan jalan buntu yang jarang dilalui
orang. Kondisi lingkungan selama ini pun terbilang aman. Jadi pembangunan
portal memiliki urgensi yang patut dipertanyakan.
Loh,
gimana sih Ibu Z ini, kita kan harus jaga-jaga sebelum kejadian, toh? Itu masih mending Bapak A mau
menyumbang. Ternyata eh ternyata, Ibu Z menganggap Bapak A ngotot ingin membuat
portal untuk kepentingannya sendiri. Bapak A tidak punya garasi sehingga setiap
hari mobilnya di parkir di jalan. Makanya dia butuh portal. Nah, loh!
Ending-nya
bagaimana? Ibu Z tidak bilang apa-apa. Tetangga tidak ada yang mengetahui
kondisinya tersebut. Ibu Z tetap membayar urunan sebesar 100 ribu dengan sangat
terpaksa. Ibu Z tidak ingin punya masalah dengan para tetangga. Yahh, mungkin
Ibu Z takut dikucilkan, diomongin, dimusuhin tetangganya.
Itu baru satu cerita, kisah nyata.
Masih banyak cerita lainnya tapi artikelnya nanti jadi kepanjangan. Dari cerita
tersebut saya tidak membela siapa-siapa. Saya hanya menyayangkan tentang
komunikasi yang diabaikan. Harusnya Bapak A, Bapak B, dan seluruh warga tetap
menghargai pendapat tetangganya dengan mendiskusikan rencana di grup obrolan. Ibu
Z pun mungkin sebaiknya terus terang dengan kondisinya, tapi tentu gak semudah
itu juga sih.
Tidak semua orang open mind dan bisa empati kepada orang
lain. Saya melihat banyak sekali urunan-urunan, sumbangan, iuran, dan lain-lain
di lingkungan tempat tinggal yang sifatnya pemaksaan. BANYAK BANGET, SERIUS.
Orang yang benar-benar tidak mampu pada umumnya malu atau pakewuh untuk mengakui kondisinya. Di sinilah harusnya peran para
tetangga untuk empati dan tidak membuat keputusan yang memberatkan tetangganya.
Pengertian Tetangga dan Bagaimana Memperlakukannya
Siapakah yang dimaksud dengan tetangga?
Menurut KBBI, tetangga adalah orang atau
rumah yang letaknya berdekatan atau bersebelahan. Tetangga memiliki akar kata
yang serupa dengan setangga, yaitu tangga. Terdapat arti tersirat bahwa
setangga atau tetangga ini merupakan posisi di tingkatan yang sama. Setara.
Dalam Agama Islam, terdapat banyak
pembahasan tentang tetangga. Bahkan salah satu hadits menyebutkan, Rasulullah
SAW bersabda "Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku
mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris." (HR. Bukhari
6014, HR. Muslim 2625).
Betapa pentingnya posisi tetangga,
bukan? Hadits lain menyebutkan bahwa "Barangsiapa yang beriman pada Allah
dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tetangganya" (HR. Bukhari 5589,
HR. Muslim 70).
Ada banyak sekali ayat Alquran dan
Hadits yang menganjurkan untuk berbuat baik kepada tetangga dan memastikan
tetangga aman dari kejahatan kita. Nah, baik dan jahat ini parameternya seperti
apa? Di masyarakat sering kali bias, nih.
Di daerah tertentu (umumnya
pedesaan), baik sama tetangga diidentikkan dengan sering main ke rumah
tetangganya (nenangga), selalu ikut
acara-acara warga seperti arisan, piknik bareng, bukber, dan lain-lain. Kalau tidak ikut itu dianggap sebagai
tetangga yang jahat?
Bersosialisasi dengan warga sekitar
memang diperlukan, namun tentu sesuai dengan porsi kesibukan masing-masing.
Justru yang paling penting adalah kita menunaikan hak-hak tetangga seperti
menjenguk ketika sakit, berbagi makanan, dan datang jika diundang walimatul
ursy. Jangan lupa, pastikan tetangga aman dari kejahatan lisan kita, jangan
nyinyir, julid, dan membuat tetangga tidak nyaman dengan omongan kita. Catet, Bunnn.
Saya pun masih banyak belajar dan
memperbaiki diri. Tulisan ini untuk menjadi pengingat kita bersama untuk lebih
peka dan berempati terhadap kondisi tetangga. Berikutnya saya akan membahas
lebih dalam terkait tema ini.
0 comments